Aksi ini dipimpin oleh Koordinator Aliansi, Ki Edi Susilo, yang menegaskan bahwa pembangunan hotel tersebut tidak mengantongi izin lingkungan serta Analisis Dampak Lalu Lintas (Amdal Lalin) yang wajib dimiliki setiap usaha yang berdampak terhadap lingkungan dan lalu lintas.
“Kami menilai Parkside Hotel telah melanggar Peraturan Daerah Kota Palembang Tahun 2018 yang mengatur bahwa setiap usaha yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki Amdal. Selain itu, Pasal 3 PP No.22 Tahun 2021 juga mengatur bahwa setiap persetujuan lingkungan harus diperoleh sebelum izin usaha diterbitkan,” ujarnya.
Menurut Edi, keberadaan bangunan ini menjadi contoh buruk bagi para pengusaha di Palembang yang seringkali mengabaikan aturan yang berlaku. Ia menegaskan bahwa jika pelanggaran ini dibiarkan, maka akan semakin banyak pembangunan ilegal yang mengabaikan aspek lingkungan dan tata kota.
Pelanggaran Berulang dan Pembangkangan Hukum
Selain menuntut penghentian operasional, massa aksi juga menyoroti tindakan pihak hotel yang sebelumnya telah membongkar segel resmi dari Pemkot Palembang pada 31 Desember 2024.
“Tindakan mereka sangat arogan. Segel yang dipasang oleh Pemkot malah dibuka secara sepihak. Ini jelas melawan hukum dan bisa dikategorikan sebagai perusakan fasilitas negara,” tegas Edi.
Akibatnya, massa aksi yang terdiri dari 40 organisasi masyarakat, LSM, NGO, OKP, dan mahasiswa semakin geram dan sepakat untuk menyegel serta menggembok hotel sebagai bentuk penegasan.
“Jika Satpol PP tidak hadir untuk menindaklanjuti penyegelan ini, maka kami sendiri yang akan menggembok hotel ini!” tambahnya.
Dukungan dari Berbagai Pihak
Ketua DPW PEKAT Sumsel, Suparman Romans, menegaskan bahwa aturan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ia menegaskan bahwa Palembang tidak anti-investasi, tetapi semua investor harus mematuhi regulasi yang berlaku.
“Kami mendukung investasi, tetapi tidak dengan cara melanggar aturan. Jangan sampai ketidaktegasan ini menimbulkan gejolak di masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Gencar, Charma Afrianto, juga menyoroti bahwa pembangunan Parkside Hotel penuh dengan kejanggalan. Awalnya, bangunan ini hanya berizin untuk tiga lantai, tetapi kini telah berkembang menjadi delapan lantai tanpa adanya revisi izin yang jelas.
“Jika bangunan ini tiba-tiba meningkat dari 3 lantai ke 8 lantai tanpa izin yang jelas, maka ada potensi bahaya bagi keselamatan umum. Pemerintah harus bertindak sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga menyoroti masalah banjir dan kemacetan akibat tidak adanya Amdal Lalin yang jelas dari Dinas Perhubungan.
“Sudah jelas, hotel ini melanggar aturan dan harus ditindak tegas. Kalau aturan terus dilanggar, maka kota ini akan semakin semrawut,” tambahnya.
Manajemen Hotel Minta Maaf, tetapi Tetap Dikecam
Menanggapi aksi ini, General Manager Parkside Hotel, Isti Budiono, akhirnya memberikan pernyataan. Ia mengaku bahwa pihaknya telah menjalani pemeriksaan di kepolisian terkait pembukaan segel yang dilakukan sebelumnya.
“Kami sudah dipanggil dan membuat BAP di kepolisian. Kami juga meminta maaf jika ada kesalahpahaman dalam proses ini,” ujarnya.
Namun, pernyataan tersebut tidak meredakan kemarahan massa. Hingga pukul 12.30 WIB, tidak ada perwakilan dari Satpol PP yang hadir di lokasi, sehingga massa memutuskan untuk melakukan penyegelan sendiri dan menggembok hotel.
Sebagai bentuk protes tambahan, massa juga membakar ban di depan hotel sebagai simbol kekecewaan terhadap ketidaktegasan aparat dalam menegakkan aturan.
“Kami ingin Kota Palembang dihormati sebagai kota bersejarah yang memiliki aturan tegas. Jika investor datang ke sini, mereka harus menghormati aturan yang berlaku!” tegas salah satu orator aksi.
Hingga saat ini, masa depan operasional Parkside Hotel masih belum jelas, dan publik menunggu langkah tegas dari Pemkot Palembang terhadap kasus ini. (Manda)